BAB I
PENDAHULUAN
Sesungguhnya semenjak jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi po1itik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu didirikan pula lembaga-lembaga pendidikan umum nasional seperti Muhammadiyah, Taman Siswa dan lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya.
Pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, arah pendidikan kita menjadi lebih jelas, meskipun hakikat dan tujuannya pada dasarnya tetap sama, yaitu mencerdaskan serta meningkatkan kualitas kemampuan bangsa. Namun demikian, upaya pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan barangkali memiliki dimensi yang lebih luas dan lebih komplek, karena menyangkut kemampuan survival bangsa dalam mepertahankan dan mengisi kemerdekaan. Proses dan hasil pendidikan harus mampu menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan bangsa akan sumberdaya manusia yang trampil dalam berbagai jenjang pendidikan serta dalam berbagai jenis keterampilan yang bervariasi.
Kita semua menyadari bahwa pada masa-masa yang akan datang kemajuan dan kejayaan suatu negara tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya insani merupakan suatu usaha besar dan vital yang selalu diupayakan serta menjadi pusat perhatian setiap negara yang ingin memajukan bangsanya. Usaha dan perjuangan suatu negara dalam meningkatkan kecerdasan serta kemampuan bangsanya dapat dilihat dalam sistem pendidikannya.
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk membangun struktur dan strategi pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, terutama dilihat dari segi konsepsi serta tujuan yang ingin dikejar, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta strategi atau upaya-upaya nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Di samping itu, realisasi serta praktek pelaksanaannya di lapangan juga dibahas serta persoalan-persoalannya diidentifikasikan dalam usaha untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya .
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap bangsa memiliki system pendidikan nasional. Pendidikan nasional masing-masing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai olehkebudayaannya. Kebudayaan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.
Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kebudayaan bangsa Indonesia dan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Pendidikan nasional disusun sedemikian rupa, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan system pendidikan nasional bangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secara geografis, demografis, dan cultural berciri khas.
A. KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL
1. DEFINISI PENDIDIKAN NASIONAL
Tidak begitu mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai mengenai sistem pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang pendidikan nasional. Perlu disadari bahwa konsep mengenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang melandasinya seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran. Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional yang didasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaannya. Kebudayaan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingg mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk pertama undang-undang pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan nasional, maupun konsep sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh Mr. Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu itu, mengemukakan bahwa pendidikan nasional merupakan landasan pembangunan masyarakat nasional, yaitu masyarakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan pengajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional yang demokratis. Memang dapat dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan nasional merupakan reaksi dari sistem pendidikan kolonial yang bersifat diskriminatif dan elitis.
Pengertian yang 1ebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai "Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” ( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai "pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. (pasal 1 ayat 2). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah "keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan demikian, sistem pendidikan nasional dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia.
2. UNSUR-UNSUR POKOK SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Suatu sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan
atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu. Suatu sistem memiliki tiga unsur pokok:
• tujuan;
• isi atau komponen; dan
• proses.
Apabila pendidikan nasional kita benar-benar merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki tiga unsur pokok tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan dan berinteraksi secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan) dibangun dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun dari komponen-komponen dan komponen-komponen bagian yang semuanya itu membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta berfungsinya komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan tujuan sistem merupakan proses sistem tersebut.
a. TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Apabila pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan sistem pendidikan pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada masa penjajahan secara formal tidak berakar pada kebudayaan nasional dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional harus dicari dari dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Sejak proklamasi kemerdekaan, tujuan pendidikan telah mengalami beberapa kali perubahan, mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada masa-masa tersebut misalnya, pada masa permulaan kemerdekaan, tujuan pendidikan terutama berorientasi pada usaha "menanamkan jiwa patriotisme" (S.K. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No. 104/Bhg. 0, tanggal 1 Maret 1946}, karena pada masa itu negara ingin menghasilkan patriot bangsa yang rela berkorban untuk negara dan bangsa. Dengan semangat tersebut diharapkan kemerdekaan bisa dipertahankan dan dengan semangat itu pula kemerdekaan akan diisi.
Dengan keluarnya Undang-undang No. 4 Tahun 1950, rumusan tujuan pendidikan dan pengajaran mengalami perubahan. Pasal 3 undang-undang tersebut menetapkan bahwa "tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air". Tekanan tampaknya diletakkan pada pembentukan warga negara yang demokratis dan warga negara yang bertanggung jawab sebagai antitesa warga masyarakat terjajah. Tujuan pendidikan ini tidak mengalami perubahan sampai pada saat undang-undang No. 4 Tahun 1950 diberlakukan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai Undang-undang no. 12 tahun 1954.
Pada tahun 1965, pada saat Indonesia berada di bawah gelora Manipol/Usdek, rumusan pendidikan nasional disesuaikan dengan situasi politik pada masa itu. Melalui Keputusan Presiden Repu1ik Indonesia No. 145 tahun 1965 tujuan pendidikan nasional dirumuskan sebagai berikut : “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual, material dan yang berjiwa Pancasila, yaitu:
Ke-Tuhanan yang Maha Esa,
Prikemanusiaan yang adil dan beradab,
Kebangsaan,
Kerakyatan,
Keadilan Sosial seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.
Sesudah terjadinya peristiwa G30S/PKI, kembali rumusan tujuan pendidikan mengalami perubahan. Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XXVII/MPRS /1966, tujuan pendidikan dirumuskan sebagai berikut: "Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945". Pada masa ini tujuan pendidikan tampaknya dititikberatkan pada pembentukan manusia Pancasilais sejati, karena pada masa itu barangkali banyak ditemukan manusia Pancasilais palsu yung tidak sepenuhnya berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang murni.
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilihan umum menge1uarkan ketetapan No. IV/MPH/1973 yang dikenal dengan nama Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam ketetapan tersebut dirumuskan pula tujuan nasional pendidikan yang baru berbunyi sebagai berikut : “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup”. Oleh karena itu, agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Pemerintah. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila dan untuk membentuk Manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang temaktub dalam dalam Undang-undang Dasar 1945".
Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pasal 4 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan yang berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Sementara itu, rumusan tujuan pendidikan nasional yang terbaru dapat dibaca dalam UU No. 20 tahun 2003 Bab II pasal 3 yang menegaskan bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Mempelajari rumusan-rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan di atas beberapa kesimpulan dapat ditarik:
Tujuan pendidikan nasional cukup sering berubah mengikuti perubahan situasi politik yang terjadi pada suatu masa.
Tujuan pendidikan yang dirumuskan pada umumnya sangat idealistis, dan tampaknya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan kesulitan dalam pelaksanaannya dilapangan.
Perubahan tujuan tampaknya tidak secara maksimal diikuti dengan perubahan strategi dan piranti yang memungkinkan tujuan tersebut dapat diwujudkan.
b. KOMPONEN-KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Lepas dari segala variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk membentuk sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan golongan yang meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemampuan intelektual, kemampuan sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan satuan-satuan dan jalur-jalur pendidikan yang merupakan komponen-komponen sistem pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional tersebut yaitu:
JALUR PENDIDIKAN
1) Satuan Pendidikan Sekolah
Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari jenjangnya, pendidikan sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi. Dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
Pendidikan Berdasarkan Jenjangnya
(1) Jenjang Pendidikan Prasekolah/Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
¤Taman Kanak-kanak (TK),
¤ Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
¤Kelompok Bermain (KB),
¤Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(2) Jenjang Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dan dalam hubungannya ke atas adalah untuk mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja.Pendidikan menengah terdiri atas:
¤ pendidikan menengah umum, dan
¤ pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
¤ Sekolah Menengah Atas (SMA),
¤ Madrasah Aliyah (MA),
¤Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
¤Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Jenjang Pendidikan Tinggi
Penidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magiser, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. nstitut, atau universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
2) Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Satuan pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluarga, pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan pendidikan ini bisa bersifat informal, formal, maupun nonformal.
Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi:
pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Sebenarnya masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut adalah pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang diperoleh secara otodidak melalui membaca, memperhatikan, bertanya, mencari tahu serta bentuk-bentuk pendidikan informal lain yang diperoleh dari berbagai media massa dan sumber belajar lainnya.
Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masyarakat belajar melalui proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi semua warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu kesatuan sistem yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padahal Iandasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar pengaruhnya bagi proses pendidikan anak se1anjutnya. Oleh karena itu, partisipasi keluarga dalam proses pendidikan perlu ditingkatkan .
Keberhasilan komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponen-kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita ada1ah: kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan pengelolaan .
KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum disusun sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :
peningkatan iman dan taqwa;
peningkatan akhlak mulia;
peningkatan potensi,kecerdasan, dan minat peserta didik;
keragaman potensi daerah dan lingkungan;
tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
agama;
dinamika perkembangan global;
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20 thn 2003 pasal 36).
Kurikulum berdasarkan system pendidikan nasional dibagi menjadi dua, yaitu kurikulum nasional dan kurikulum muatan local. Di dalam struktur kurikuum, porsi muatan local adalah 20% dari kurikulum nasional.
1. Kurikulum Nasional
Kurikulum nasional adalah kurikulum yang mengandung aspekkesatuan nasional, memberikan bekal kesadaran dan kesatuan nasional, semangat kebangsaan, kesetiaan social, serta mempertebal rasa cinta tanah air.
Tujuan pendidikan nasional dinyatakan dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 pasal 3, yaitu:
a. Terwujudnya bangsa yang cerdas
b. Manusia yang utuh, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan YME
c. Berbudi pekerti luhur
d. Terampil dan berpengetahuan
e. Sehat jasmani dan Rohani
f. Berkepribadian yang mantap dan mandir
g. Bertanggung jawab pada kemasyarakatan dan kebangsaan.
Masing-masing satuan pendidikan (menurut jalur, jenjang dan jenis) mempunyai tugas untuk mencapai tujuan nasional tersebut, di samping tujuan institusional yang di emban oleh masing-masing satuan pendidikan. Jadi, tujuan dari system pendidikan nasional diberlakukan untuk semua satuan pendidikan , dari pendidikan prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi, pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah, demikian pula jenis pendidikan khusus seperti pendidikan anak luar biasa, pendidikan kedinasan dan seterusnya. Ini berarti tjuan pendidikan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum msing-masing satuan pendidikan.
Ayat 2 dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a. Pendidikan pancasila,
b. Pendidikan Agama, dan
c. Pendidikan Kewarganegaraan.
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan kurikulum nasional itu adalah kurikulum yang mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a. Diberlakukan sama pada setiap macam satuan pendidikan di seluruh Indonesia.
b. Ditetapkan oleh pemerintah (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri pendidikan dan Kebudayaan.
c. Tujuannya untuk menggalang kesatuan nasional dan pengendalian mutu pendidikan secara nasional.
2. Kurikulum Muatan Lokal
Kurikulum muatan lokal sebenarnya sudah diperkenalkan sejak diberlakukan kurikulum 1984, akan tetapi belum memberikan berjalan sebagaimana diharapkan. Banyak hal yang perlu diperhatikan oleh semua pihak, apakah pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, masyarakat, guru maupun siswa itu sendiri. Apalagi saat ini di dunia pendidikan sedang dilaksanakan Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka kurikulum muatan lokal eksistensinya sangat mewarnai penyelenggaraan KTSP sebagai satu bentuk otonomi kepada guru untuk mengatur dan mengembangkan kurikulum di dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa.
Isi dalam pengertian di atas adalah bahan pelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan muatan lokal. Sedangkan media penyampaian merupakan metode dan sarana yang digunakan dalam penyampaian isi muatan lokal. Sebagai contoh; untuk menanamkan konsep himpunan seorang guru menggunakan batu dan buah-buahan dengan metode mengajar demonstrasi clan bahasa daerah. Dari contoh ini, guru belum dapat dikatakan telah menerapkan muatan lokal walaupun medianya atau sarana yang digunakan berasal dari lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena bahan pelajaran atau isi yang disajikan tidak menunjang muatan lokal.
Kegiatan belajar mengajar yang bermuatan lokal harus mencakup baik isi maupun media penyampaiannya. Misal; pada suatu daerah tertentu dianggap perlu melestarikan pakaian tradisionalnya, sedangkan dalam kurikulum sekolah terdapat pokok bahasan kebutuhan pakaian, selain fungsi dan jenis pakaian secara nasional, guru juga membahas tentang pakaian adat yang mencakup antara lain tentang arti dan bagian-bagian penting dari pakaian adat, cara memakainya, dan kapan, serta dimana pakaian adat tersebut pantas dipakai, baik masa kini maupun masa lalu. Di samping itu juga guru mengajak siswa untuk menunjukkan apa perbedaan adat masa lampau dengan masa sekarang dan persamaan dalam nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Cara penyajian yang sederhana dapat menggunakan gambar-gambar yang melukiskan penggunaan pakaian adat masa lampau dan masa sekarang. Dengan cara demikian maka isi dan media penyampaian dapat menunjang tercapainya tujuan muatan lokal yakni antara lain; siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai lingkungannya serta terhindar dari keterasingan terhadap lingkungannya sendiri.
TENAGA KEPENDIDIKAN
Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan. Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Mereka seharusnya merupakan orang-orang yang profesional yang menguasai tugasnya dan memiliki dedikasi dalam melaksanakan tugasnya.
SUMBERDAYA PENDIDIKAN
Berhasilnya suatu satuan pendidikan dalam menunaikan fungsinya perlu ditunjang dengan penyediaan sumberdaya pendidikan yang meliputi: gedung dan perlengkapannya, sumber belajar seperti buku-buku dan alat-alat bantu mengajar dan dana yang memadai. Meskipun pengelolaan pendidikan nasional berada di bawah tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional, sebagian tanggung jawab pengelolaan perlu diserahkan kepada pejabat yang langsung berhadapan dengan penyelenggaraan proses pendidikan.
c. PROSES SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Yang dimaksud proses dalam sistem pendidikan nasional adalah mekanisme kerja dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang memungkinkan seluruh komponen sistem pendidikan (pendidikan luar sekolah dan pendidikan. sekolah untuk berbagai jenis dan jenjang) bekerja dan menunaikan fungsi untuk mencapai tujuan yang te1ah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut meliputi aturan-aturan mengenai persyaratan masuk ke dalam suatu jenjang dan/atau jenis pendidikan, mata ajaran yang dipelajari dan untuk berapa lama dipelajari, buku-buku yang dipergunakan, prosedur dan tata cara penyelenggaraan pengajaran termasuk metode mengajar dan sistem evaluasi yang dipergunakan, banyaknya pertemuan dalam satu minggu, serta sejumlah aturan lain yang menyangkut pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran.
Sebagian dari aturan-aturan ini ditetapkan dalam bentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, instruksi dari pejabat pendidikan pada berbagai tingkatan dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan sendiri oleh suatu satuan pendidikan baik yang dinyatakan secara tertulis maupun tidak tertulis. Kerapkali komponen-komponen sistem pendidikan yang ada tidak mampu menunaikan fungsinya dengan baik karena tidak ada aturan yang menuntun proses kerjanya, atau karena aturan-aturan yang ada kurang memadai atau seringkali berubah-ubah. Oleh karena itu, aturan-aturan yang bersifat fundamental perlu ditetapkan dalam bentuk ketetapan yang lebih permanen sifatnya seperti undang-undang atau peraturun-peraturan pemerintah.
Tidak semua aturan yang menuntun proses penyelenggaraan pendidikan harus diatur melalui undang-undang atau peraturan pemerintah. Aturan-aturan yang bersifat lebih dinamis dan mudah berubah sebaiknya ditetapkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang dapat diubah dengan cepat.
B. REALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang kita anggap sebagai sumber utama gagasan sistem pendidikan nasional belum genap berusia 1 tahun. Oleh karena itu, mungkin masih terlalu dini untuk menilai realisasi serta pelaksanaannya di lapangan. Peraturan-peraturan pemerintah yang membe-rikan pedoman pelaksanaannya belum disusun. Setelah ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan pemerintah itu disusun barulah dapat dirancang kegiatan-kegiatan pelaksanaannya. Berdasarkan gambaran di atas, dapat diperkirakan bahwa realisasi pelaksanaan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional secara utuh akan masih memerlukan waktu.
Masyarakat mungkin menaruh harapan yang besar akan kemampuan undang-undang ini dalam menangani masalah-masalah pendidikan. Ada kesan bahwa semua persoalan pendidikan akan bisa diselesaikan setidak-tidaknya akan lebih mudah diselesaikan setelah undang-undang ini diberlakukan. Harapan semacam itu mungkin agak berlebihan, karena fungsi utama undang-undang ini pada dasarnya adalah sebagai sumber acuan untuk memulai langkah-langkah pembenahan dalam upaya pendidikan. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membuat hal-hal yang diatur dalam undang ini menjadi suatu kenyataan.
Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya.
C. MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN YANG ADA SEKARANG
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan kepribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.
Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achievement) (Dweck,1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.
Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.
Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Administrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentralistis yang sarat dengan beban birokrasi . O1eh karena itu persoalan-persoalan pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.
Apabila kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang . Dalam menghadapi persaingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi, manusia Indonesia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkankan pada bakat dan kemampuan alamiah.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam pengembangan pendidikan 1ebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka sistem pendidikan nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.
D. USAHA-USAHA KE ARAH PEMECAHAN MASALAH
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi, pengelolaan dan pengawasan.
Ada 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kedelapan faktor tersebut adalah;
kurikulum yang ketat,
guru yang kompeten,
ciri-ciri keefektifan,
penilaian,
keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat,
pendanaan yang memadai,
disiplin yang kuat, dan
keterikatan pada ni1ai-ni1ai tradisiona1.
Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pendidikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui cara-cara berikut.
• menambah banyaknya pekerjaan rumah,
• mengajar siswa sejak permulaan keterampilan belajar dan bekerja,
• melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,
• menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.
Persoalan kedua adalah bagaimana mendemokratiskan sistem pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan nasional kita memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang cukup banyak diantaranya masih berkualitas rendah , belum kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa dinikmati oleh sebagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan da1am kemampuan intelektual maupun kemampuan ekonomis.
Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menyelenggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem intensif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti , anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.
Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang diselenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan memperoleh kesempatan untuk rnengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warganegara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3 mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat demikian vitalnya peranan kewajiban belajar dalam upaya peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaanya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.
Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih menyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, merupakan tanggung jawab semua lembaga pendidikan untuk men-namkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar.
BAB III
PENUTUP
Konsep dasar pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional te1ah dikemukakan. Demikian pula konteks sejarahnya. Sistem pendidikan nasional mempunyai peranan yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dimasa yang akan datang. Upaya pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat diandalkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya merupakan suatu usaha besar yang cukup rumit pengaturan maupun pelaksanaannya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat vital. Oleh karena itu penanganan masalah pendidikan harus dilakukan secara bersistem, karena tidak pernah akan tuntas kalau dilaksanakan oleh lembaga-1embaga pendidikan secara individual melalui cara-cara yang bersifat monolitik. Dengan perkataan lain, semua komponen sistem pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat, media massa ) harus berperan serta. Namun demikian, agar semua usaha tersebut dapat mencapai tujuannya secara rnaksimal, usaha-usaha tersebut perlu diatur melaiui suatu strategi nasional yang memiliki landasan yang kuat.
Melihat luasnya tujuan yang ingin dicapai, banyaknya komponen yang terlibat, serta terbatasnya sarana pendukung dalam proses pelaksanaannya, realisasi sistem pendidikan nasional tentu saja akan dihadapkan pada berbagai kendala. Namun demikian, landasan sistem pendidikan nasional telah diletakkan sebagai titik acuan dalam usaha melakukan pembenahan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Tirtahardja,umar,dkk.2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
http://www.studentmagz.com/2008/08/-kurikulum-muatan-lokal.html (Diunduh tanggal 12 Mei 2011).
http://www.virzgstein.com/sistem-pendidikan-nasional.html
(Diunduh tanggal 12 Mei 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar